Selasa, 14 Juli 2009

Awas! kartu kredit menjebak kita

Share Berbagilah kebaikan dengan mensharing artikel ini melalui FB anda.

“Saya mengajukan permintaan kartu kredit,” kata seorang rekan kerja yang baru lulus universitas, “tapi ditolak.”

“Wah, saya malah selalu ditawari bank kartu kredit,” kata seorang rekan yang lebih senior. “Kartu kredit saya emas….”

Saya menangkap ada perasaan bangga pada nada ucapannya. Mungkin buatnya kartu kredit emas menunjukkan simbol keberhasilan pencapaian karirnya, atau pengakuan resmi atas keberadaan dirinya. Gengsi, istilah popularnya.

Saya ingat, dulu saya pernah dihubungi seorang wanita petugas bank. “Selamat,” katanya. “Anda terpilih mendapatkan kenaikan pagu. Kartu perak Anda kami tingkatkan menjadi emas.”

Alih-alih mengucapkan ‘terima kasih atas kepercayaan bank kepada saya,’ saya menukas dengan tegas, “Saya tidak tertarik. Justru sebaliknya, saya ingin penurunan pagu.”

Jawaban yang mengagetkannya, tentu saja.

Kali lain petugas itu menelepon saya lagi. Tapi saya tolak. Kamis pekan lalu, saya akhirnya menghubungi layanan pelanggan, dan benar-benar menuntut penurunan batas kartu kredit saya.

Sudah tujuh tahun saya memegang kartu utang, tapi jarang saya menggunakannya lebih dari 25 peratus pagu. Lebih sering di bawah itu. Saya tahu, dengan kotak tipis bermagnet ini, bank mendorong kita bertindak konsumtif: gesek, gesek, dan gesek. Cicil, cicil, dan cicil. Bunga, bunga, dan bunga! Tiba-tiba saja kita terperangkap dalam utang yang lebih besar daripada penghasilan kita, sedangkan bank sendiri diuntungkan dari bunga tunggakan yang terus berbunga.

Bank mengatakan, saya nasabah yang baik, terpilih, tidak semua orang bisa memperoleh kesempatan ini, bla-bla-bla…. Omong kosong. Ada udang di balik batu. Yang gampang saja, jika saya terima tawaran itu, saya harus membayar iuran tahunan lebih mahal. Artinya, saya mengeluarkan kocek untuk sesuatu yang tidak perlu, yang tidak sesuai dengan pola belanja saya.

Saya akui, ketika baru lulus perguruan tinggi saya ingin memperoleh kemudahan, gengsi, dan prestise sebuah kartu kredit sebagaimana yang telah saya lihat sekilas pada kakak saya yang mapan. Pada pertengahan tahun 2000, bekerja pada sebuah anak perusahaan manufaktur otomotif, saya yang percaya diri sempat kecewa ketika permohonan saya ditolak sebuah “bank kota” tanpa alasan apapun.

Namun, ketika saya berada di sebuah pusat belanja swalayan dan hendak pulang, seorang pramuniaga dari bank yang lain mencegat dan membujuk Selanjutnya"






.::Artikel Menarik Lainnya::.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar