Seusai mengimami salat ashar Khalifah Umar bin Khattab menanyakan tentang keadaan salah seorang sahabatnya yang tak hadir salat berjamaah. Diberitahukan kepadanya bahwa sahabat tersebut sedang sakit. Umar segera menyempatkan diri untuk menjenguknya.
Sesampai di rumah sahabat yang sakit, Khalifah Umar mengetuk pintu memberi salam. Dari dalam sahabat tersebut menjawab salam, sekaligus bertanya, ''Siapa di luar?'' Umar menjawab, ''Umar bin Khattab.'' Mendengar yang datang adalah Amirul Mukminin, sahabat tersebut langsung bangkit, sigap dan segera membuka pintu.
Melihat kesigapan dan ketergesaan sahabat itu, Umar segera bertanya, ''Mengapa engkau tak salat berjamaah bersama kami? Padahal Allah Ta'ala telah memanggilmu dari langit yang ketujuh hayya 'alas shalah (mari bersalat), akan tetapi engkau tidak menyambutnya! Sementara panggilan Umar bin Khattab sempat membuatmu gelisah dan ketakutan!''
Apakah hikmah yang dapat kita petik dari peristiwa ini? Yakni, pertama, bahwa seorang pemimpin yang baik bukan semata merasa cukup dengan kesalehan dan ketaqwaan dirinya, tapi ia juga merasa bertanggung jawab besar untuk mengajak para pejabat dan masyarakat yang di bawah tanggung jawabnya untuk juga menjadi saleh. Oleh karenanya ia tak pernah menyia-nyiakan momentum untuk berpesan dan mencontohkan prilaku taqwa dalam arti sesungguhnya dan seluas-luasnya.
Kedua, pemimpin yang saleh tak akan pernah merasa bangga dengan penghormatan bawahannya yang tak proporsional, atau bahkan berlebihan. Apalagi kalau sampai penghormatan tersebut bertendensi untuk lebih memuliakannya daripada pemuliaan kepada Yang Maha Mulia, yakni Allah swt.
Karena jika hal itu dibiarkan terjadi, sama artinya ia telah membiarkan berkembangnya para ajudan, pembantu, dan masyarakat yang hanya akan mampu berkata ''yes Sir'' atau ABS (asal bapak suka). Tidak ada lagi iklim ''wa tawa shau bil haq wa tawa shau bis shobr'' (saling berpesan kebenaran dan saling berpesan kesabaran).
Jika sudah begitu, terjadilah apa yang disumpahkan Allah dalam surat Al-Ashr bahwa mereka semua akan berada dalam kerugian. Itulah sebabnya ketika seorang sahabat melarang sahabat lainnya karena terlalu sering menegur Khalifah Umar dengan ucapannya ''Takutlah kepada Allah, hai Umar'', ternyata teguran itu justru didukung Khalifah Umar sendiri. Kata Khalifah, ''Biarkan ia mengatakannya. Kalau orang-orang ini tidak menegurku sedemikian, maka mereka menjadi tak berguna; dan jika aku tidak mendengarkannya, maka aku malah bersalah.''
Semoga kita terjauhkan dari sumpah Allah tadi, yakni ditetapkan sebagai masyarakat dan bangsa yang merugi. Karena jika itu terjadi, maka takkan ada bentuk kekuatan apapun yang mampu membalikkan jarum sejarah menuju ketentraman dan keberkahan. Tidak juga sejuta pakar, teori pembangunan dan teknologi canggih, kecuali bertobat dan kembali merunduk kepada Yang Maha Penentu terhadap segala sesuatu (wa hua 'ala kuli syaiin qodiir).
Atau kembali menghidupkan prasyarat kemuliaan sebagaimana termaktub dalam Kitab-Nya: ''fastabiqul khoiroot'' (maka berlombalah dalam kebaikan) (QS.2:148) dan ''wata'awanuu 'alal birri wattaqwa'' (saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan taqwa). (QS.5:2). ahi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar