Kamis, 27 Agustus 2009

Nisfu sya'ban dan dalil-dalilnya

Share Berbagilah kebaikan dengan mensharing artikel ini melalui FB anda.

Assalamualaikum Wr. Wb
Ustd yang di rahmati Allah. Saya mau tanya tentang Nisfu syaban, adakah nash yang menjelaskan tentang hal ini, dan apa yang sering di lakukan oleh Rasullah SAW pada bulan sya’ban.
Jazakallah atas jawabannya
Wassalamualaikum Wr. Wb
Ahmd
Jawaban
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sebenarnya kalau dilihat dari kaca mata para ahli hadits, praktek ibadah ritual yang dilakukan oleh sebagian saudara kita di malam ke-15bulan Sya’ban (nisfu sya’ban), tidak didukung dengan hadits yang mencapai derajat shahih kepada Rasulullah SAW.
Namun bukan berarti apa yang dikerjakan ituotomatis menjadi haram atau kemungkaran yang harus diperangi. Sebab ternyata kita menemukan dalil-dalil yang meski tidak sampai derajat shahih, tetapi juga tidak sampai dhaif apalagi palsu. Hadits-hadits itu mencapai derajat hasan. Setidaknya, kesimpulan kita adalah bahwa derajat kekuatan tiap hadits itu memang jadi perbedaan pandangan kalangan ahli hadits.
Walhasil, perkara ini memang menjadi wilayah khilaf di kalangan ulama. Sebagian mentsabatkan hal itu namun sebagian tidak. Dan selama suatu masalah masih menjadi khilaf ulama, setidaknya kita tidak perlu langsung menghujat apa yang dilakukan oleh saudara kita bila ternyata tidak sama dengan apa yang kita yakini.
Dalil Tentang Keutamaan Bulan Sya’ban dan Khususnya Nisfu Sya’ban
Dalil-dalil yang diperselisihkan oleh para ulama tentang level keshahihannya itu antara lain adalah hadits-hadits berikut ini:
Sesungguhnya Allah ‘Azza Wajalla turun ke langit dunia pada malam nisfu sya’ban dan mengampuni lebih banyak dari jumlah bulu pada kambing Bani Kalb (salah satu kabilah yang punya banyak kambing). (HR At-Tabarani dan Ahmad)
Namun Al-Imam At-Tirmizy menyatakan bahwa riwayat ini didhaifkan oleh Al-Bukhari.


Selain hadits di atas, juga ada hadits lainnya yang meski tidak sampai derajat shahih, namun oleh para ulama diterima juga.
Dari Aisyah radhiyallahu anha berkata bahwa Rasulullah SAW bangun pada malam dan melakukan shalat serta memperlama sujud, sehingga aku menyangka beliau telah diambil. Ketika beliau mengangkat kepalanya dari sujud dan selesai dari shalatnya, beliau berkata, “Wahai Asiyah, (atau Wahai Humaira’), apakah kamu menyangka bahwa Rasulullah tidak memberikan hakmu kepadamu?” Aku menjawab, “Tidak ya Rasulallah, namun Aku menyangka bahwa Anda telah dipanggil Allah karena sujud Anda lama sekali.” Rasulullah SAW bersabda, “Tahukah kamu malam apa ini?” Aku menjawab, “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Ini adalah malam nisfu sya’ban (pertengahan bulan sya’ban). Dan Allah muncul kepada hamba-hamba-Nya di malam nisfu sya’ban dan mengampuni orang yang minta ampun, mengasihi orang yang minta dikasihi, namun menunda orang yang hasud sebagaimana perilaku mereka.” (HR Al-Baihaqi)
Al-Baihaqi meriwayatkan hadits ini lewat jalur Al-’Alaa’ bin Al-Harits dan menyatakan bahwa hadits ini mursal jayyid. Hal itu karena Al-’Alaa’ tidak mendengar langsung dari Aisyah ra.
Ditambah lagi dengan satu hadits yang menyebutkan bahwa pada bulan Sya’ban amal-amal manusia dilaporkan ke langit. Namun hadits ini tidak secara spesifik menyebutkan bahwa hal itu terjadi pada malam nisfu sya’ban.
Dari Usamah bin Zaid ra bahwa beliau bertanya kepada nabi SAW, “Saya tidak melihat Andaberpuasa (sunnah) lebih banyak dari bulan Sya’ban.” Beliau menjawab, “Bulan sya’ban adalah bulan yang sering dilupakan orang dan terdapat di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan itu adalah bulan diangkatnya amal-amal kepada rabbul-alamin. Aku senang bila amalku diangkat sedangkan aku dalam keadaan berpuasa.” (HR An-Nasai)
Dari tiga hadits di atas, kita bisa menerima sebuah gambaran para para ahli hadits memang berbeda pendapat. Dan apakah kita bisa menerima sebuah riwayat yang dhaif, juga menjadi ajang perbedaan pendapat lagi. Sebab sebagian ulama membolehkan kita menggunakan hadits dhaif (asal tidak parah), khususnya untuk masalah fadhailul a’mal, bukan masalah aqidah asasiyah dan hukum halam dan haram.
Anggaplah kita meminjam pendapat yang menerima hadits-hadits di atas, maka kita akan mendapati bahwa memang ada kekhususan di bulan sya’ban khususnya malam nisfu sya’ban. Di antaranya adalah Allah SWT mengampuni dosa-dosa yang minta ampun. Dan bahwa Rasulullah SAW melakukan shalat di malam itu dan memperlama shalatnya. Dan bahwa bulan Sya’ban adalah bulan diangkatnya amal-amal manusia.
Namun semua dalil di atas belum sampai kepada bagaimana bentuk teknis untuk mengisi malam nisfu sya’ban itu.
Ritual Khusus Malam Nisfu Sya’ban
Yang menjadi pertanyaan, adakah anjuran untuk berkumpul di masjid-masjid membaca doa-doa khusus di malam itu? Dan sudahkah hal itu dilakukan di zaman nabi SAW? Ataukah ada ulama di masa lalu yang melakukannya di masjid-masjid sebagaimana yang sering kita saksikan sekarang ini?
Anjuran untuk berkumpul di malam nisfu sya’ban memang ada, namun dari segi dalilnya, apakah terkoneksi hingga Rasulullah SAW, para ulama umumnya menilai bahwa dalil-dalil itudhaif. Di antaranya hadits berikut ini:
Dari Ali bin Abi Thalib secara marfu’ bahwa Rasululah SAW bersabda, “Bila datang malam nisfu sya’ban, maka bangunlah pada malamnya dan berpuasa lah siangnya. Sesungguhnya Allah SWT turunpada malam itu sejak terbenamnya matahari kelangit dunia dan berkata, “Adakah orang yang minta ampun, Aku akan mengampuninya. Adakah yang minta rizki, Aku akan memberinya riki.Adakah orang sakit, maka Aku akan menyembuhkannya, hingga terbit fajar. (HR Ibnu Majah dengan sanad yang dhaif)
Sedangkan pemandangan yang seperti yang kita lihat sekarang ini di mana manusia berkumpul untuk berdzikir dan berdoa khusus di malam nisfu sya’ban di masjid-masjid, belum kita temui di zaman Rasulullah SAW maupun di zaman shahabat. Kita baru menemukannya di zaman tabi’in, satu lapis generasi setelah generasi para shahabat.
Al-Qasthalani dalam kitabnya, Al-Mawahib Alladunniyah jilid 2 halaman 59, menuliskan bahwa para tabiin di negeri Syam seperti Khalid bin Mi’dan dan Makhul telah ber-juhud (mengkhususkan beribadah) pada malam nisfu sya’ban. Maka dari mereka berdua orang-orang mengambil panutan.
Namun disebutkan terdapat kisah-kisah Israiliyat dari mereka. Sehingga hal itu diingkari oleh para ulama lainnya, terutama ulama dari hijaz, seperti Atho’ bin Abi Mulkiyah, termasuk para ulama Malikiyah yang mengatakan bahwa hal itu bid’ah.
Al-Qasthalany kemudian meneruskan di dalam kitabnya bahwa para ulama Syam berbeda pendapat dalam bentuk teknis ibadah di malam nisfu sya’ban.
1. Bentuk Pertama
Dilakukan di malam hari di masjid secara berjamaah. Ini adalah pandangan Khalid bin Mi’dan, Luqman bin ‘Amir. Dianjurkan pada malam itu untuk mengenakan pakaian yang paling baik, memakai harum-haruman, memakai celak mata (kuhl), serta menghabiskan malam itu untuk beribadah di masjid.
Praktek sepertiini disetujui oleh Ishaq bin Rahawaih dan beliau berkomentar tentang hal ini, “Amal seperti ini bukan bid’ah.” Dan pendapat beliau ini dinukil oleh Harb Al-Karamani dalam kitabnya.
2. Bentuk kedua
Pendapat ini didukung oleh Al-Auza’i dan para ulama Syam umumnya. Bentuknya bagi mereka cukup dikerjakan saja sendiri-sendiri di rumah atau di mana pun. Namun tidak perlu dengan pengerahan masa di masjid baik dengan doa, dzikir maupun istighfar. Mereka memandang hal itu sebagai sesuatu yang tidak dianjurkan.
Jadi di pihak yang mendukung adanya ritual ibadah khusus di malam nisfu sya’ban itu pun berkembang dua pendapat lagi.
Al-Imam An-Nawawi
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, seorang ahli fiqih kondang bermazhab Syafi’i yang punya banyak karya besar dan kitabnya dibaca oleh seluruh pesantren di dunia Islam (di antaranya kitab Riyadhusshalihin, arba’in an-nawawiyah, al-majmu’), punya pendapat menarik tentang ritual khusus di malam nisfu sya’ban.
Beliau berkata bahwa shalat satu bentuk ritual yang bid’ah di malam itu adalah shalat 100 rakaat, hukumnya adalah bid’ah. Sama dengan shalat raghaib 12 rakaat yang banyak dilakukan di bulan Rajab, juga shalat bid’ah. Keduanya tidak ada dalilnya dari Rasulullah SAW.
Beliau mengingatkan untuk tidak terkecoh dengan dalil-dalil dan anjuran baik yang ada di dalam kitabIhya’ Ulumiddin karya Al-Ghazali, atau kitab Quut Al-Qulub karya Abu Talib Al-Makki.
Ustadz ‘Athiyah Shaqr
Beliau adalah kepala Lajnah Fatwa di Al-Azhar Mesir di masa lalu. Dalam pendapatnya beliau mengatakan bahwa tidak mengapa bila kita melakukan shalat sunnah di malam nisfu sya’ban antara Maghri dan Isya’ demi untuk bertaqarrub kepada Allah. Karena hal itu termasuk kebaikan. Demikian juga dengan ibadah sunnah lainnya sepanjang malam itu, dengan berdoa, meminta ampun kepada Alla. Semua itu memang dianjurkan.
Namun lafadz doa panjang umur dan sejenisnya, semua itu tidak ada sumbernya dari Rasulullah SAW.
Dr. Yusuf al-Qaradawi
Ulama yang sering dijadikan rujukan oleh para aktifis dakwah berpendapat tentang ritual di malam nasfu sya’ban bahwa tidak pernah diriwayatkan dari Nabi SAW dan para sahabat bahwa mereka berkumpul di masjid untuk menghidupkan malam nisfu Sya’ban, membaca doa tertentu dan shalat tertentu seperti yang kita lihat pada sebahagian negeri orang Islam.
Juga tidak ada riwayat untuk membaca surah Yasin, shalat dua rakaat dengan niat panjang umur, dua rakaat yang lain pula dengan niat tidak bergantung kepada manusia, kemudian mereka membaca do`a yang tidak pernah dipetik dari golongan salaf (para sahabah, tabi`in dan tabi tabi`in).
Kesimpulan
Dan memang masalah ini adalah mahallun-khilaf’ sepajang zaman. Tidak akan ada penyelesaiannya, karena masing-masing pihak berangkat dengan ijtihad dan dalil masing-masing, di mana kita pun berhusnudzdzhan bahwa mereka punya niat yang baik serta mereka memiliki kapasitas dan otoritas dalam berijtihad.
Lepas dari keyakinan kita masing-masing yang merupakan hak kita untuk mengikutinya, namun hak kita dibatasi oleh adanya hak saudara kita dalam kebebasan berekspresi dalam ijtihad mereka, selama masih dalam koridor manhaj yang benar.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc (wi)
www.eramuslim.com


.::Artikel Menarik Lainnya::.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar