Dr. Asti Praborini, SpA ternyata tak sependapat. Setidaknya saran tersebut tidak berlaku setiap saat. Melainkan harus dengan mempertimbangkan usia anak, kondisinya, lokasi tempat tinggal maupun jarak tempuh ke dokter atau RS terdekat. Jika tinggal di kota besar, tentu tak ada salahnya segera memeriksakan si kecil begitu ia jatuh sakit tanpa harus ditunda-tunda. Terlebih lagi jika usia anak masih belum genap setahun.
Apa pun jenis penyakitnya, entah mencret, panas atau mengalami trauma/kecelakaan, sesegera mungkin larikan ke dokter. "Berdasarkan pengalaman sebagai dokter, ternyata tidak sedikit anak yang terpaksa dirawat di ICU dalam keadaan gawat hanya gara-gara tak segera dibawa ke dokter. Jadi, kalau mau belajar dari pengalaman, memang buat apa, sih, kita memelihara penyakit?" tandas Asti pula.
"Ritme" Unik
Menurut Asti, kewaspadaan semacam ini perlu mengingat ada penyakit yang memiliki
"ritme" unik. Artinya, hari ini anak terlihat sakit, sementara esok harinya sudah tampak bugar meski sebenarnya si virus masih "on". Asti pun lantas mengibaratkan pola penyakit seperti ini dengan banjir yang sering melanda Jakarta. "Hujan deras sebentar saja selalu diikuti banjir yang tiba-tiba akan surut dengan sendirinya. Kelihatannya seakan-akan banjir sudah 'lewat', padahal sewaktu-waktu bisa muncul lagi karena akar permasalahannya belum dituntaskan," ujar spesialis anak dari RS MH Thamrin Internasional, Jakarta ini.
Begitu juga dengan kondisi penyakit anak. Terkadang penyakitnya tampak sudah mereda, padahal justru dalam fase berbahaya. Pada penyakit demam berdarah, contohnya, ada fase tertentu yang kerap mengecoh orang tua. Tepatnya beberapa hari kemudian saat pasien sudah tak mengalami panas tinggi. Padahal demam pada penyakit yang umumnya mewabah pada pergantian musim ini memiliki "ritme" unik. Pasien mengalami demam selama 2 hari, tapi memasuki hari ketiga, temperatur tubuhnya menurun. Tak heran bila dilihat dari kacamata awam, penyakitnya dianggap sudah membaik. "Padahal yang terjadi si virus malah sedang giat-giatnya 'bekerja'."
Begitu juga dengan penyakit tifus. Ada fase dimana pasien terlihat sehat, padahal sebetulnya masih termasuk kategori gawat. Soalnya, pola penyakit yang juga dikenal sebagai demam tifoid ini memang cukup membingungkan. Demam yang dialami penderita biasanya hanya terjadi di malam hari. Sedangkan di siang hari, penderita terlihat sehat, hingga bisa beraktivitas seperti biasa. "Nah, ini yang sering membuat orang tua menyangka anaknya sudah sembuh."
Jangan Ambil Risiko
Berdasarkan alasan-alasan itulah Asti menyarankan agar orang tua tidak menunda membawa anaknya ke dokter. Intinya, jangan menunggu sampai kondisi anak bertambah parah. Sementara daya tahan tubuh anak, kan, masih relatif lemah jika dibandingkan dengan orang dewasa.
Penundaan semacam itu, tandas Asti, sebaiknya tidak diberlakukan bagi balita, terlebih bayi. Meski memang, sih, kadang keluhan batuk atau demam si kecil bisa reda dengan pemberian obat-obatan yang dijual bebas. Menurut Asti, boleh saja sepanjang penyakit yang menyerang anak adalah infeksi biasa. Yang dikhawatirkan adalah jika gejala-gejala seperti panas, batuk ataupun mencret mengarah pada suatu penyakit yang serius. "Padahal, serius atau tidaknya suatu penyakit, kan, hanya dapat diketahui melalui pemeriksaan dokter yang memang kompeten menangani penyakit tersebut."
Tentu saja tidak berarti orang tua lantas perlu berkesimpulan bahwa batuk, mencret atau demam yang dialami si kecil selalu mengarah pada penyakit yang berbahaya. Berdasarkan pengalamannya, Asti mengatakan 50 persen demam yang dialami anak, tidak menunjukkan/mengarah pada penyakit yang serius. Akan tetapi 50 persen sisanya memang memerlukan penanganan lebih lanjut.
Yang justru mengherankan Asti, tak jarang orang tua bertindak salah kaprah. Maksudnya, ketika batuk, pilek dan demam anak tak kunjung sembuh, orang tua tak segan-segan memeriksakan anaknya ke dokter. Namun jika anaknya mengalami penyakit yang tergolong serius, seperti tumor, leukemia dan sejenisnya, orang tua malah acap memutuskan tidak ke dokter. "Mereka justru memilih membawa anaknya ke pengobatan alternatif. Ujung-ujungnya, penanganan jadi sering terlambat dan muncul berbagai mitos ataupun anggapan keliru. Semisal anggapan bahwa kanker tak bisa disembuhkan. Padahal kalau terdeteksi sejak dini dan diberi pengobatan yang baik, kanker bisa, kok, disembuhkan." (Faras Handayani/Tabloid Nakita)
Editor: acandra
kompas
baca selanjutnya »»
Begitu juga dengan kondisi penyakit anak. Terkadang penyakitnya tampak sudah mereda, padahal justru dalam fase berbahaya. Pada penyakit demam berdarah, contohnya, ada fase tertentu yang kerap mengecoh orang tua. Tepatnya beberapa hari kemudian saat pasien sudah tak mengalami panas tinggi. Padahal demam pada penyakit yang umumnya mewabah pada pergantian musim ini memiliki "ritme" unik. Pasien mengalami demam selama 2 hari, tapi memasuki hari ketiga, temperatur tubuhnya menurun. Tak heran bila dilihat dari kacamata awam, penyakitnya dianggap sudah membaik. "Padahal yang terjadi si virus malah sedang giat-giatnya 'bekerja'."
Begitu juga dengan penyakit tifus. Ada fase dimana pasien terlihat sehat, padahal sebetulnya masih termasuk kategori gawat. Soalnya, pola penyakit yang juga dikenal sebagai demam tifoid ini memang cukup membingungkan. Demam yang dialami penderita biasanya hanya terjadi di malam hari. Sedangkan di siang hari, penderita terlihat sehat, hingga bisa beraktivitas seperti biasa. "Nah, ini yang sering membuat orang tua menyangka anaknya sudah sembuh."
Jangan Ambil Risiko
Berdasarkan alasan-alasan itulah Asti menyarankan agar orang tua tidak menunda membawa anaknya ke dokter. Intinya, jangan menunggu sampai kondisi anak bertambah parah. Sementara daya tahan tubuh anak, kan, masih relatif lemah jika dibandingkan dengan orang dewasa.
Penundaan semacam itu, tandas Asti, sebaiknya tidak diberlakukan bagi balita, terlebih bayi. Meski memang, sih, kadang keluhan batuk atau demam si kecil bisa reda dengan pemberian obat-obatan yang dijual bebas. Menurut Asti, boleh saja sepanjang penyakit yang menyerang anak adalah infeksi biasa. Yang dikhawatirkan adalah jika gejala-gejala seperti panas, batuk ataupun mencret mengarah pada suatu penyakit yang serius. "Padahal, serius atau tidaknya suatu penyakit, kan, hanya dapat diketahui melalui pemeriksaan dokter yang memang kompeten menangani penyakit tersebut."
Tentu saja tidak berarti orang tua lantas perlu berkesimpulan bahwa batuk, mencret atau demam yang dialami si kecil selalu mengarah pada penyakit yang berbahaya. Berdasarkan pengalamannya, Asti mengatakan 50 persen demam yang dialami anak, tidak menunjukkan/mengarah pada penyakit yang serius. Akan tetapi 50 persen sisanya memang memerlukan penanganan lebih lanjut.
Yang justru mengherankan Asti, tak jarang orang tua bertindak salah kaprah. Maksudnya, ketika batuk, pilek dan demam anak tak kunjung sembuh, orang tua tak segan-segan memeriksakan anaknya ke dokter. Namun jika anaknya mengalami penyakit yang tergolong serius, seperti tumor, leukemia dan sejenisnya, orang tua malah acap memutuskan tidak ke dokter. "Mereka justru memilih membawa anaknya ke pengobatan alternatif. Ujung-ujungnya, penanganan jadi sering terlambat dan muncul berbagai mitos ataupun anggapan keliru. Semisal anggapan bahwa kanker tak bisa disembuhkan. Padahal kalau terdeteksi sejak dini dan diberi pengobatan yang baik, kanker bisa, kok, disembuhkan." (Faras Handayani/Tabloid Nakita)
Editor: acandra
kompas