Surah az-Zalzalah terdiri dari 8 ayat. Kata az-Zalzalah, yang berarti 'Keguncangan', diambil dari ayat pertama.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa surah ini turun sebelum Nabi Saw berhijrah ke Madinah. Kandungannya yang berbicara tentang salah satu prinsip pokok akidah mendukung pendapat ini. Ada yang berpendapat bahwa ayat 7 dan 8 adalah Madaniyyah, tetapi pendapat ini tidak didukung oleh banyak ulama.
Namanya yang dikenal pada masa sahabat Nabi Saw adalah surah Idza Zulzilat. Ibn 'Umar berkata bahwa: "Idza Zulzilat turun sementara saat itu Abu Bakar ra sedang duduk menangis." Dalam beberapa Mushhaf, namanya yang tercantum adalah surah az-Zilzâl atau Zulzilat. Ada juga yang menamainya surah az-Zalzalah. Semua nama tersebut terambil dari ayatnya yang pertama.
Tema utama surah ini adalah uraian tentang Hari Kiamat dan apa yang akan dialami manusia ketika itu, di mana akan terbuka segala persoalan dan menjadi nyata apa yang tersembunyi. Demikian kesimpulan banyak ulama termasuk al-Biqa'i. Surah ini merupakan surah yang ke-94 dari segi masa turunnya. Ini bagi mereka yang menilainya Madaniyyah. Jumlah ayat-ayatnya ada 8 ayat. Para pakar bacaan Kufah beranggapan bahwa jumlah ayatnya 9 karena mereka menjadikan ayat ke-6 sebagai dua ayat.
Intisari Kandungan Ayat (Ayat 1-5)
Akhir surah yang lalu menjelaskan balasan dan ganjaran bagi yang durhaka dan yang taat. Ganjaran dan balasan itu akan mereka terima di Hari Kemudian. Surah ini berbicara tentang awal terjadinya Hari Kemudian itu.
Ayat pertama bagaikan menyatakan: Apabila —dan itu pasti terjadi— bumi diguncangkan dengan guncangannya yang dahsyat yang hanya terjadi sekali dalam kedahsyatan seperti itu. Selanjutnya, ayat kedua menggambarkan apa yang terjadi akibat guncangan tersebut, yakni persada bumi di seluruh penjurunya —tanpa kecuali— mengeluarkan beban-beban berat yang dikandungnya, baik manusia yang telah mati terkubur, maupun barang tambang yang selama ini terpendam bahkan apa pun yang berada dalam perut bumi.
Lalu ayat ketiga menggambarkan keadaan manusia yang ketika itu mengalaminya. Mereka bertanya (dalam hati masing-masing) karena keheranan dan diliputi ketakutan: Apa (yang terjadi) bagi bumi ini sehingga ia bergoncang demikian dahsyat dan mengeluarkan isi perutnya?
Keheranan manusia tidak berlanjut lama, pertanyaannya segera terjawab melalui ayat 4 bahwa pada hari terjadinya goncangan itu bumi menyampaikan berita beritanya, yakni menyangkut sebab goncangan itu. Itu semua, lanjut ayat 5, karena sesungguhnya Tuhan —Pemelihara dan pembimbingmu wahai Nabi Muhammad atau wahai setiap orang— telah mewahyukan, yakni memerintahkan kepadanya melalui isyarat yang cepat untuk melakukan hal-hal tersebut.
Pelajaran yang Dapat Dipetik Dari Ayat 1-5
1. Pengulangan kata al-Ardh/ bumi pada ayat kedua mengisyaratkan bahwa goncangan dan pengeluaran isi perut bumi itu terjadi di seluruh wilayah bumi tanpa kecuali, dan ini adalah salah satu yang membedakan antara goncangan atau gempa yang terjadi selama ini, karena gempa tersebut hanya terjadi pada wilayah terbatas dari bumi ini.
2. Bumi bahkan alam raya tunduk patuh kepada Allah sejak tercipta hingga kehancurannya, tanpa dapat mengelak. Itulah yang dilukiskan dengan 'hukum-hukum alam' yang diciptakan Allah. Dengan wahyu yakni hanya dengan isyarat yang cepat alam raya patuh, kendati kepatuhan tersebut mengakibatkan kehancurannya.
3. Anda tidak harus memahami penyampaian bumi dalam arti dia berucap dengan bahasa lisan. Simbol-simbol sesuatu adalah bahasa yang lebih jelas daripada bahasa lisan. Ketika lampu lalu lintas berwarna merah, maka itu berarti dia memerintahkan Anda untuk berhenti, sebagaimana lampu kuning mengundang Anda berhati-hati dan hijau mempersilakan Anda jalan. Nah, pahamilah penyampaian bumi lebih kurang seperti itu.
Selanjutnya, ayat 6 melukiskan keadaan seluruh manusia, yakni pada hari itu semua manusia bangkit dengan cepat dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, yakni sesuai dengan tingkat keimanan dan kekufuran mereka serta sesuai pula dengan amal-amal mereka. Mereka bangkit menuju Tuhan yang telah menetapkan satu tempat terbuka di alam sana. Itu agar diperlihatkan kepada mereka masing-masing amal-amal mereka.
Di sanalah manusia seluruhnya menyadari bahwa semua diperlakukan Allah secara adil, maka menurut ayat 7 dan 8: Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, yakni butir debu, sekalipun —bahkan sekecil apa pun, kapan dan di mana pun— niscaya dia akan mengetahui bahkan melihatnya. Demikian juga sebaliknya barang siapa yang mengerjakan amal buruk seberat dzarrah sekalipun, niscaya dia akan melihatnya pula.
Pelajaran yang Dapat Dipetik Dari Ayat 6-8
1. Semua amal sekecil apa pun akan dilihat/diketahui dan dipertanggungjawabkan di Hari Kemudian. Karena itu, jangan enggan melakukan kebaikan walau kecil dan juga merasa aman melakukan keburukan karena remehnya. Alangkah banyaknya peristiwa-peristiwa besar—baik positif maupun negatif—yang bermula dari hal-hal kecil. Kobaran api yang membumihanguskan, boleh jadi bermula dari puntung rokok yang tidak sepenuhnya dipadamkan.
2. Amal mencakup segala aktivitas yang lahir dari daya-daya manusia, termasuk daya fisik, pikir, dan kalbu manusia. Karena itu, niat yang merupakan hasil kerja daya kalbu akan di'lihat' juga. Hanya saja karena kemurahan Allah sehingga niat buruk tidak dipertanggungjawabkan sebelum diwujudkan oleh daya fisik, sedang niat baik diberi-Nya ganjaran kendati belum diwujudkan.
Demikian, wa Allah A'lam.
Detikramadan
www.alifmagz.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar